Perjalanan Panjang: Sejarah Uang Indonesia
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam hal uang. Indonesia termasuk negara yang masih muda, baru merdeka kurang lebih seratus tahun yang lalu. Dan seperti negara muda, negeri ini telah menghadapi banyak masalah: kemerosotan, inflasi, ketidakstabilan politik, utang luar negeri, korupsi, dan banyak lagi.
Indonesia adalah negara yang luas, tersebar di sekitar 1.904.569 kilometer persegi, dengan lebih dari 17.000 pulau. Indonesia adalah negara terpadat keempat di dunia, dengan lebih dari 270 juta orang. Indonesia kaya akan mineral, minyak, flora dan fauna yang unik, dan sumber daya alam yang melimpah. Meskipun Indonesia adalah negara muda, wilayah ini telah dikenal sejak zaman kuno sebagai pelabuhan perdagangan, surga rempah-rempah dan kekuatan angkatan laut yang kuat.
Uang di wilayah Indonesia berubah dari waktu ke waktu: dari emas, menjadi perunggu, menjadi uang kertas. Kita akan melihat sejarah uang Indonesia dan mengetahui mengapa penting bagi masyarakat Indonesia untuk memiliki Bitcoin.
Kerajaan Kuno
Pada zaman dahulu, sebelum Indonesia berdiri sebagai sebuah negara, Indonesia terdiri dari kerajaan-kerajaan mini. Beberapa yang lebih besar adalah kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang memerintah antara abad 13–17. Kerajaan-kerajaan ini menggunakan emas sebagai mata uang utama mereka. Kerajaan Majapahit begitu kaya sehingga pasukan mereka dipuja dengan emas: tombak emas, baju besi emas, dan pelana emas.
Majapahit menguasai perdagangan dan memiliki angkatan laut yang kuat. Raja Majapahit ambisius dan ingin menaklukkan lebih banyak wilayah. Untuk memenuhi ambisi ini, ia memutuskan untuk mengganti koin emasnya dengan koin perunggu buatan China. Ini adalah tindakan penurunan nilai mata uang pertama yang tercatat dalam sejarah Indonesia. Majapahit berhasil memperluas wilayahnya tetapi dengan mata uang yang direndahkan itu mengembangkan masalah lain. Uang palsu berbahan timah mulai beredar di Majapahit.
Ekonomi akhirnya runtuh, dibanjiri uang palsu, dan itu adalah titik awal dari sebuah kerajaan yang jatuh. Kurang dari 100 tahun setelah Majapahit menurunkan mata uang mereka, kerajaan itu jatuh
Zaman penjajahan
Indonesia kaya akan rempah-rempah dan komoditas. Banyak negara yang datang untuk berdagang dan banyak yang berusaha memonopoli perdagangan. Beberapa negara antara lain; Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda, berjuang untuk menjajah Indonesia. Pada akhirnya, Belanda berhasil memonopoli perdagangan di Indonesia melalui Dutch East Indies Company (VOC).
Kepemilikan tanah di Indonesia adalah masalah yang rumit, banyak orang dapat mengklaim kepemilikan tanah, bisa jadi raja yang mengatur tanah, petani yang mengolah tanah, atau pemilik rumah yang berada di tanah. VOC melihat kesempatan ini dan berhasil memperoleh hak panen. Perlahan-lahan, VOC menguasai kepemilikan tanah dan menjadi kekuatan utama di Indonesia.
Sebagai perusahaan, VOC memiliki hak khusus dari kerajaan Belanda untuk mencetak uang dan memungut pajak. VOC mencetak uangnya sendiri dan mulai mengerahkan kekuasaannya kepada rakyat Indonesia. VOC mencoba menguasai Indonesia dengan mencetak uang logam sendiri yang disebut Doit. Sayangnya, Doit tidak seberharga Pound sterling misalnya. Doit terbuat dari timah dan tembaga, sedangkan Pound sterling terbuat dari perak. Doit ternyata tidak lepas dari pemalsuan. Saking buruknya, doit kehilangan nilainya 15 persen dari nilainya selama masa VOC.
Indonesia dianggap sebagai tanah yang menguntungkan dan VOC meraup keuntungan yang begitu besar sehingga korupsi menjadi tidak terkendali. Pada tahun 1779 VOC bangkrut karena korupsi massal dan kerajaan Belanda mengambil alih urusan Indonesia.
Belanda menerapkan penanaman paksa atau kerja paksa yang membuat Indonesia menjadi salah satu produsen gula terbesar di dunia. Belanda memiliki cara yang cerdas untuk melakukan hal ini; mereka menciptakan utang publik dan meminjam uang dari warganya dengan tingkat bunga rendah (Elson 1994: 261–264). Belanda menggunakan strategi ini untuk menciptakan angkatan kerja di Indonesia. Cerita berlanjut bahwa Belanda mengalami kesulitan mendapatkan buruh untuk perkebunan gula mereka karena orang Jawa menginginkan lebih banyak uang untuk pekerjaan mereka daripada yang ingin dibayar Belanda, dan memperbudak orang Jawa ternyata sulit. Jadi mereka datang dengan skema keuangan di mana mereka meminjam dari masa depan mereka dan menawarkan uang pinjaman kepada wanita Jawa untuk memiliki bayi. Dalam upaya untuk mendapatkan uang gratis dari Belanda, para wanita Jawa terpaksa memiliki lebih banyak bayi daripada yang seharusnya. Ketika semua bayi itu dewasa, ada begitu banyak dari mereka sehingga tidak ada cukup pekerjaan — dan perkebunan gula dan upah mereka yang hampir setara dengan budak menunggu mereka. Dan begitulah cara Belanda mendapatkan tenaga kerja murah, dan mengapa Pulau Jawa menjadi pulau terpadat di dunia. Sampai sekarang ada pepatah terkenal di Jawa “Banyak anak banyak rejeki -Dengan banyak anak, datang banyak rejeki” untuk membuktikan betapa efektifnya kampanye ini. Uang murah adalah alat untuk memperbudak orang. Melalui sistem ini, Belanda berhasil meraup keuntungan 1 miliar gulden. Belanda menjadi salah satu kekuatan kolonial terkuat di dunia.
Pada tahun 1828, De Javasche Bank (DJB) didirikan oleh Belanda sebagai bank sentral Indonesia. Peran utama DJB adalah mencetak koin emas dan juga menukar emas. De Javasche Bank mendanai penanaman paksa. Di bawah De Javanesche Bank, Belanda berusaha menyatukan semua mata uang yang beredar di Indonesia menjadi satu mata uang tunggal di bawah kerajaan Belanda yang disebut Gulden.
Pada tahun 1800-an bangsa Eropa menghadapi depresi panjang, resesi tersebut disebabkan oleh turunnya harga saham di Eropa sehingga menyebabkan harga komoditas turun. Resesi terjadi karena banyak persaingan untuk komoditas dan peningkatan pasokan komoditas ini, menciptakan “gelembung rempah-rempah”. Sinyal harga baru terasa di Indonesia pada tahun 1880, setelah harga komoditas hancur dan kelaparan menyebar di Indonesia.
Pendudukan Jepang
Memasuki tahun 1942, akibat Perang Dunia II, terjadi peperangan antara Belanda dan Jepang. Belanda menyerah kepada Jepang dan Jepang menarik simpati penduduk Indonesia dengan meyakinkan mereka bahwa Jepang berada di pihak Indonesia. Meskipun,tidak demikian adanya.
Jepang melikuidasi De Javasche Bank dan menggabungkannya menjadi Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG) sebagai bank sirkulasi Jepang untuk Asia Tenggara. Meski dilikuidasi, tentara Jepang masih membutuhkan bantuan staf ahli, sebagian besar staf dari De Javasche Bank. Jadi sebagian besar staf NKG adalah staf dari DJB. Untuk membiayai perang, Jepang harus mencetak uang dan mengurangi peredaran uang Belanda.
Pada saat itu peredaran uang di Hindia Belanda mencapai 610 juta gulden, yang terdiri dari 365 juta gulden dalam bentuk uang kertas, 75 juta gulden dalam bentuk surat berharga pemerintah, 93 juta gulden dalam bentuk koin perak, dan sisanya dalam bentuk pecahan uang kecil. (Margana, 2018: 20)
Untuk menjaga harga tetap stabil, Jepang terus menggunakan gulden sebagai mata uang resmi di Indonesia. Ini juga merupakan strategi Jepang dalam menguasai Asia dengan menggunakan apa yang dikenal sebagai Japan Invasion Money (JIM). Jepang menggunakan pecahan yang sudah berlaku (dalam hal ini di Indonesia pecahan tersebut menggunakan Gulden Belanda). Jepang mencetak sekitar 3,3 Miliar Gulden JIM. Untuk menarik simpati masyarakat Indonesia, Jepang kemudian mengubah pecahan dari Gulden menjadi Rupiah.
Jepang membutuhkan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan industri dan perang. Jepang menguasai komoditas penting seperti perkebunan karet dan beras. Beberapa perkebunan sebelumnya yang merupakan komoditas utama dari Belanda dihancurkan dan diganti dengan komoditas perang seperti tanaman jarak yang digunakan untuk membuat biodiesel. Banyak dari pemilik tanah sebelumnya direkrut sebagai budak yang tidak dibayar untuk bekerja pada program penanaman paksa atau bahkan sebagai tentara Jepang.
Awal Kemerdekaan dan Perang Mata Uang
Pada tahun 1945, bom Hiroshima dan Nagasaki dirilis di Jepang. Melihat peluang kekosongan kekuasaan tersebut, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun tidak mudah bagi Indonesia untuk memperoleh kemerdekaannya karena pihak sekutu terutama Belanda ingin merebut kembali Indonesia beserta seluruh kekayaan alamnya.
Pada tahun 1947, Belanda menerima pinjaman dari Bank Dunia sebesar $195 juta, kemudian pada tahun berikutnya sebanyak 145.000 tentara Belanda datang ke Indonesia untuk merebut kembali Indonesia (Rich, 1994).
Untuk melawan sekutu, pada tanggal 30 Oktober 1946, Bung Hatta, wakil presiden Indonesia mengumumkan bahwa Indonesia akan mencetak uang sendiri yang disebut ORI, Oeang Republik Indonesia. Uang ini dicetak oleh Bank Negara Indonesia, bank sentral besutan pemerintah Indonesia untuk menyaingi De Javasche Bank buatan Belanda. Uang ORI adalah uang greenback yaitu uang fiat murni tanpa adanya backing emas. Tarif ORI dipatok Rp 2 = 1 gram emas, Tanpa dasar apapun, ORI terus turun nilainya.
Tetapi pada masa awal kemunculan ORI, likuiditas ORI sangat dibatasi. Pengambilan uang simpanan bank semenjak tanggal 31 Oktober hanya bisa dilakukan maksimal Rp. 100 per bulan per orang atau Rp. 300 untuk perkawinan, kelahiran, atau tanggungan sakit/meninggal. Untuk perusahaan, pengambilan simpanan dibatasi Rp. 2000 per bulan serta biaya-biaya lain maksimal Rp. 250 per minggu dan untuk badan bukan perusahaan maka pengambilan untuk gaji dan biaya maksimal sebesar Rp. 500 per bulan. (Margana. 2018:50–51). Sehingga tidak salah kenapa rakyat Indonesia lebih memilih untuk menyimpan Gulden yang lebih tersedia.
Perang mata uang terjadi. Pemerintah Indonesia berusaha untuk mematikan Gulden dengan cara memberikan batasan kepada rakyat Indonesia untuk menyetor uang Jepang dan Hinda Belanda hingga tanggal 16 Oktober. Masyarakat menjadi kahwatir jika mereka mendepositkan uang mereka ke dalam bank, mereka tidak akan mendapatkannya kembali. Dan masih banyak anggapan bahwa Gulden lebih berharga daripada ORI. Sehingga orang-orang mencoba untuk menghabiskan uang simpanan mereka di pasar dan nilai tukar uang Jepang Gulden melonjak menjadi 120 untuk f. 1 uang NICA di pasar gelap. Kenaikan harga makanan dilaporkan mencapai 40 kali lipat dan harga pakaian sampai 20 kali lipat dua hari sebelum ORI diluncurkan (Margana. 2018:51)
Kesempatan ini dimanfaatkan Belanda untuk menyerang ORI karena Gulden lebih kuat dan berbekal perak. Masyarakat Indonesia juga lebih memilih menggunakan uang Gulden daripada ORI karena memiliki nilai lebih dan lebih stabil. Uang kemudian digunakan sebagai alat politik dan intimidasi. Jika seorang saudagar di pasar menerima uang Gulden, berarti dia pengkhianat bangsa, tentara Indonesia dapat mengobrak-abrik tokonya dan menutup tokonya. Namun, jika menerima uang ORI, nilainya terus menurun, dalam waktu kurang dari setahun 1 florin yang setara dengan Rp 2 kemudian bernilai Rp 500.
Pemerintah Belanda juga berupaya membunuh ORI dengan mengedarkan uang ORI palsu, dan mempersulit peredaran ORI. Perang yang terjadi antara Indonesia dan Belanda, menghambat peredaran ORI. Pemerintah pusat Indonesia memberikan kebijakan kepada pemerintah daerah untuk mencetak ORI sendiri untuk mengatasi kekosongan kas yang dikenal dengan ORIDA (ORI Darurat). ORIDA hanya bisa diperjualbelikan di wilayah tertentu, jadi jika uang dicetak di Jogjakarta hanya bisa digunakan di Jogjakarta.
Banyaknya mata uang yang beredar di Indonesia menimbulkan kekacauan dalam sistem perekonomian dan juga mengurangi kesepadanan uang tersebut. Setiap daerah mulai mencetak alat pembayarannya masing-masing, ada yang berupa uang, kwitansi, kwitansi, kupon, dan kwitansi pembayaran.
Peredaran uang ORI dan ORIDA tidak bisa dikendalikan, dari peredaran awal Rp 323 juta meningkat menjadi Rp. 6 milyar pada akhir tahun 1949. Inflasi di Indonesia semakin tidak terkendali. Mata uang ORI dengan pecahan terbesar 100, naik menjadi 250, kemudian naik menjadi 600 dalam waktu 3 tahun.
Kekacauan mata uang ini menyebabkan kebingungan bagi masyarakat Indonesia, mereka tidak dapat menyimpan kekayaan mereka dengan aman. Mungkin ini juga yang menyebabkan tren menyimpan uang di emas. Jika Anda bertanya kepada kakek nenek yang hidup pada masa itu, mereka akan mengatakan “beli emas dan tanah” karena emas adalah satu-satunya uang yang tidak kehilangan nilainya dan dapat diterima di mana-mana.
Konferensi Meja Bundar
Pada tahun 1949, berkat dorongan dari sekutu lain seperti Amerika Serikat, agresi militer berakhir melalui penandatanganan perjanjian Konferensi Meja Bundar. Dalam perjanjian ini, Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, dan Indonesia sekarang disebut Indonesia Serikat di bawah kekuasaan Ratu Belanda. Ada 9 poin yang disebutkan dalam konferensi ini tetapi salah satu yang terberat adalah Indonesia harus membayar semua hutang Hindia Belanda. Total utangnya adalah 2,6 triliun gulden pada Maret 1942 dan meningkat menjadi 3,2 triliun gulden pada Desember 1945, serta untuk membiayai agresi militer terhadap Indonesia sebesar 5,9 triliun gulden. (Zanden, Marks. 2012:282) Rakyat Indonesia harus membayar harga yang sangat mahal untuk kemerdekaannya.
Pemerintah Indonesia menanggung hutang yang besar dan sebagai akibatnya, menyebabkan banyak masalah keuangan dan mendevaluasi Rupiah. Untuk mengurangi peredaran uang asing di Indonesia, Pada tahun 1950, pemerintah Indonesia memiliki ide untuk memotong uang kertas Gulden secara fisik. Ini dikenal sebagai Gunting Syafruddin. Idenya, dengan memotong Gulden, pemerintah bisa mendevaluasi Gulden dan “menguatkan” rupiah. Uang yang dipotong tersebut bernilai Rp 5 ke atas. Bila dipotong setengah, sisi kirinya menjadi dua dan sisi kanannya dapat ditukar dengan obligasi negara dengan jangka waktu 40 tahun. Gunting Sjafruddin dapat mengurangi peredaran uang secara signifikan sebesar 1.6 milyar rupiah namun hanya bersifat sementara. Indonesia tetap mencetak uang dan Kenaikan peredaran uang antara 1949 sampai akhir 1950 itu adalah 160% dan merupakan salah satu yang paling tinggi di Asia. (Margana. 2018: 70)
Nilai tukar rupiah juga turun karena murni uang fiat tanpa underlying. Awalnya 1 gram emas dipatok Rp. 2, setelah Syafruddin Gunting 1 gram emas sama dengan Rp. 4,30, turun 53 persen. Pemerintah juga menetapkan nilai tukar dolar pada kurs ganda. Nilai tukar pertama adalah nilai tukar resmi pemerintah yaitu $1 = Rp3,80 dan nilai tukar kedua untuk kegiatan ekspor-impor, harga ekspor ditetapkan sebesar $1 = Rp7,60 dan untuk impor $1 = Rp 11,40. Kebijakan ini merugikan eksportir karena seolah-olah diberikan pajak sebesar 66,7% untuk melakukan perdagangan. Dan selisih kurs ini digunakan pemerintah untuk menutupi defisit anggaran negara.
Pada tahun 1951, Pemerintah Indonesia menasionalisasi bank sentral De Javasche Bank dan berganti nama menjadi Bank Indonesia. Pemerintah Indonesia membeli saham De Javanesche Bank dengan harga 8,95 juta Gulden atau Rp 3,22 miliar. Bahkan harga saham tersebut 20% lebih tinggi dari harga normal. Dengan menasionalisasi Bank Indonesia di bawah pemerintahan Indonesia, pemerintah dapat mencetak lebih banyak uang. Selama periode uang ORI, ORIDA dan berbagai macam ORI yang lain diunifikasi menjadi secara resmi diganti dengan Rupiah.
Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi
Pengeluaran pemerintah Indonesia meningkat pada masa pemerintahan Sukarno. Sukarno, presiden pertama Indonesia, berambisi agar Indonesia diakui dunia internasional. Indonesia menjadi tuan rumah acara-acara berbiaya besar seperti Asian Games, GANEFO, dan Konferensi Gerakan Non-Blok. Sukarno juga membangun berbagai macam monumen di Indonesia untuk menunjukkan kejayaan dan patriotismenya.
Selain itu, kemerdekaan Malaysia juga memicu konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Dan juga upaya Indonesia merebut Papua menjadi bagian dari Indonesia. Hal ini membuat pengeluaran Indonesia semakin membengkak. Setidaknya anggaran Trikora untuk merebut Papua saja sudah menghabiskan 24% dari total APBN. Belakangan terungkap mengapa Indonesia begitu gigih mendapatkan Papua karena tiga ahli geologi Belanda menemukan gunung emas di Papua, yang kemudian diakuisisi oleh AS melalui perusahaan Freeport pada masa pemerintahan Suharto.
Pada tanggal 5 Juli 1959, Sukarno mengumumkan Dekrit Presiden yang mengubah arah pemerintahan Indonesia menjadi Demokrasi Terpimpin. Sukarno diangkat sebagai Presiden seumur hidup dan juga pembentukan ideologi Nasakom (Nasionalisme, Sosialisme, Komunisme). Selain itu, Sukarno juga ikut campur dalam urusan ekonomi dan menyelenggarakan Ekonomi Terpimpin. Semua kegiatan ekonomi terpusat di pemerintah pusat sedangkan daerah merupakan perpanjangan tangan dari pusat.
Dengan Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin, situasi ekonomi semakin kacau. Gubernur Bank Indonesia berpartisipasi dalam kabinet sebagai Menteri Urusan Bank Sentral. Dan bank-bank di seluruh Indonesia dilebur menjadi satu yang disebut Bank Tunggal sebagai bagian dari doktrin Bank Berdjoeang. Melalui doktrin Bank Berdjoeang, bank beralih fungsi untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang dijalankan oleh departemen pemerintah.
Hiperinflasi
Kebijakan radikal membuat perekonomian Indonesia semakin tidak menentu dan inflasi meningkat. Untuk mengatasi inflasi, pada tahun 1959, pemerintah Indonesia melakukan redenominasi Rupiah dan memotong nilainya hingga menjadi 90 persen. Rp 500 menjadi Rp 50, Rp 1000 menjadi Rp 10 bahkan rekening bank dengan jumlah di atas Rp 25.000 dibekukan. Akibatnya, tabungan masyarakat kehilangan 90 persen nilainya dalam semalam.
Kebijakan ini menimbulkan kepanikan di masyarakat. Pengumuman hanya dilakukan melalui radio dan tidak banyak orang yang mengetahuinya. Bagi yang tahu, mereka langsung berbondong-bondong ke pasar dan menghabiskan Rp 500 dan Rp 1.000 secepat mungkin. Akibatnya, harga pasar naik. Dan inflasi menjadi tak terbendung.
Untuk mengatasi inflasi, pemerintah Indonesia menggunakan cadangan devisa dan emas untuk membiayai neraca pembayaran. Cadangan emas dan devisa Indonesia menunjukkan saldo negatif US$ 3 juta.
Inflasi naik menjadi 500 persen pada tahun 1966. Harga USD di pasar gelap naik dari 1 USD, setara dengan Rp 5.100 pada tahun 1965, menjadi Rp 17.500 pada trimester ketiga, dan Rp 50.000 pada akhir tahun. Inflasi diperkirakan sekitar 500–1000 persen selama 1960–1965. Rakyat Indonesia jatuh miskin.
Ayah saya, yang saat itu berusia 16 tahun, mengatakan bahwa ketika inflasi melanda Indonesia, keluarganya harus makan bulgur daripada nasi. Setiap keluarga diberi jatah beras dari pemerintah tetapi kualitas berasnya buruk, kadang diisi ulat dan belatung. Untuk mendapatkan jatah beras, masyarakat harus mengantri berjam-jam, dan setiap keluarga diberi tanggal khusus untuk mendapatkan beras. Keluarganya harus kreatif mencari bahan makanan, biasanya mengumpulkan keong di sungai Brantas, batang pisang, dan mencoba makan semak atau dedaunan. Meskipun kakek saya seorang pengusaha bengkel dan pabrik sabun, usahanya bangkrut karena inflasi dan stagnasi ekonomi. Melonjaknya harga bahan baku membuatnya tak bisa melanjutkan usahanya.
Sedangkan ibu saya, ayahnya adalah seorang PNS. Kehidupan PNS ditopang oleh negara, mereka mendapatkan jatah beras dan juga gaji yang memadai. Maka tidak heran mengapa para orang tua pada masa itu menginginkan anaknya menjadi PNS. Salah satu keuntungan menjadi PNS antara lain pemerintah meningkatkan gaji tentara Indonesia sebesar 500% walaupun inflasi merajalela.
Situasi yang tidak stabil itu juga diiringi dengan semakin maraknya pengaruh komunis di Indonesia. Presiden Sukarno, yang anti pengaruh Barat, menolak bantuan asing, dengan pernyataan kontroversialnya “Go to Hell with Your Aid”. Sukarno mendapat banyak dukungan dari partai komunis. Pada tanggal 30 September 1965, tujuh perwira tinggi tentara Indonesia diculik dan dibunuh. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan kondisi politik di Indonesia.
Sebagai reaksi atas Gerakan 30 September 1965, tentara pimpinan Jenderal Suharto melakukan penangkapan dan pembantaian terhadap anggota Partai Komunis Indonesia. Diperkirakan setidaknya ada 500.000 anggota Partai Komunis Indonesia. Sukarno memberikan instruksi melalui Supersemar dan menjadikan Jenderal Suharto sebagai pemimpin Indonesia, sehingga mengakhiri masa jabatan Sukarno sebagai presiden seumur hidup.
Penanaman Modal Asing
Pemerintahan Suharto dimulai dengan sangat sulit. Dia harus membersihkan kekacauan dari pemerintahan sebelumnya. Suharto harus menerima bantuan dari asing, Ia kembali membuka penanaman modal asing di Indonesia yang sebelumnya ditolak oleh Sukarno. Suharto meminta sekelompok ekonom Indonesia yang sebagian besar berpendidikan Amerika, dijuluki “Mafia Berkeley”, untuk merumuskan kebijakan ekonomi pemerintah. Dengan pemotongan subsidi dan utang pemerintah, dan reformasi mekanisme nilai tukar, inflasi turun dari 660 persen pada tahun 1966 menjadi 19 persen pada tahun 1969. Ancaman kelaparan berkurang dengan masuknya pengiriman bantuan beras USAID dari tahun 1967 hingga 1968.
Pada tahun 1967 pemerintah Indonesia memberlakukan undang-undang untuk menerima investasi asing yang sebelumnya dihentikan oleh pemerintah Sukarno. UU №1/1967 berisi berbagai insentif dan jaminan bagi calon investor asing. Ini termasuk periode bebas pajak dan jaminan non-nasionalisasi. Freeport adalah perusahaan pertama yang masuk ke Indonesia di era Suharto, yakni perusahaan penambang emas AS yang berlokasi di Papua. Disusul oleh perusahaan pertambangan dan kayu dari sejumlah negara.
Selama era Suharto, Indonesia menerima banyak bantuan asing. Inter-Governmental Group Indonesia (IGGI) didirikan pada tahun 1967, beberapa anggotanya adalah IMF, ADB, OECD, AS, Jepang, Inggris, dan UNDP. Melalui IGGI, mereka memberikan pinjaman sebesar $600 juta per tahun ke Indonesia.
Perekonomian Indonesia tumbuh pada era Suharto. Dari tahun 1966 hingga 1997, Indonesia mencatat pertumbuhan PDB riil sebesar 5,03 persen per tahun, mendorong PDB riil per kapita naik dari US$806 menjadi US$4.114. Pada tahun 1966, sektor manufaktur menyumbang kurang dari 10 persen dari PDB (kebanyakan industri yang berhubungan dengan minyak dan pertanian). Pada tahun 1997, manufaktur telah meningkat menjadi 25 persen dari PDB, dan 53 persen dari ekspor terdiri dari produk manufaktur. Suharto dijuluki sebagai “Bapak Pembangunan Indonesia”.
Boom Minyak
Pada tahun 1975, Pertamina, perusahaan negara yang mengelola minyak dan gas, gagal membayar pinjaman luar negerinya akibat salah urus dan korupsi di bawah kepemimpinan sekutu dekat Suharto, Ibnu Sutowo. Pemerintah Indonesia melakukan bailout dengan mencetak lebih banyak uang untuk menyelamatkan Pertamina dari kebangkrutan. Dana talangan pemerintah Indonesia hampir menggandakan utang negara.
Ledakan ekonomi Indonesia juga didukung oleh boom minyak yang terjadi selama Perang Iran-Irak pada tahun 1979. Ekonomi Indonesia tumbuh antara 1979–1983 dari 53% menjadi 70%. Namun, setelah tahun 1983, harga minyak dunia turun. Dan Indonesia kembali mengalami devaluasi. Dari $1 sama dengan Rp703 menjadi $1 menjadi Rp1.600.
Perekonomian Indonesia melemah akibat turunnya harga komoditas. Akibatnya, perdagangan dan investasi melambat. Di sisi lain, utang pemerintah meningkat. Sumber daya keuangan pemerintah semakin menipis, sehingga sulit untuk membiayai pembangunan.
Demam Bank Swasta
Indonesia harus mencari cara lain untuk meningkatkan perekonomian nonmigas, salah satunya dengan adanya Pakjun 83 dan Pakto 88. Pakjun 1983 memberikan kebebasan kepada bank-bank negara untuk menetapkan suku bunga deposito dan menghapus ketentuan batas kredit. Dengan demikian, bank menjadi lebih fleksibel dalam menyalurkan kredit.
Pakto 88 memudahkan pengusaha untuk membuka bank swasta, hanya dengan modal Rp 10 miliar (atau sekitar 9 juta dolar pada kurs saat itu). Bank-bank baru bermunculan. Bank Indonesia mencatat, pada September 1988, jumlah bank nasional hanya 108 bank umum, terdiri dari enam bank pemerintah, 64 bank swasta, 27 bank pembangunan daerah, 11 bank campuran. Jumlah kantor bank umum pada periode tersebut sebanyak 1.359 unit. Namun setelah adanya Pakto 88, pada akhir tahun anggaran 1988/1999 jumlahnya meroket menjadi 1.525 unit. Puncak penambahan bank terjadi pada tahun 1994, dimana jumlah bank swasta mencapai 166 unit, bank campuran 40 unit, dan BPR 9.196 unit.
Dengan begitu banyak bank,fractional reserve banking menjadi merajalela.
Fractional Reserve Banking adalah sistem perbankan yang beroperasi di hampir semua negara di seluruh dunia, di mana bank-bank mengambil simpanan dari masyarakat, bank hanya menyimpan sebagian dari simpanan masyarakat di dalam aset likuid sebagai cadangan namun sebagian besar dipinjamkan kepada pihak lain. Dimana bank nantinya akan mendapatkan keuntungan berupa bunga.
Dengan kata lain, dengan fractional reserve banking, bank swasta dapat menciptakan uang juga melalui kredit. Fractional reserve banking memiliki beberapa masalah seperti:
- Alokasi kredit yang salah untuk spekulasi, menciptakan gelembung aset
- Menciptakan inflasi dari peningkatan jumlah uang beredar
- Utang terus menerus, karena jika orang berhenti meminjam uang maka akan ada lebih sedikit uang untuk membayar utang.
Demam bank swasta juga berpihak pada yang paling dekat dengan Suharto. Era Suharto juga penuh dengan korupsi, perusahaan-perusahaan penting dikuasai dan dimiliki oleh personel militer. Militer memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Banyak anggota militer memegang perusahaan strategis dan korupsi merajalela. Untuk memiliki bisnis yang signifikan, seseorang harus dekat dengan Suharto, atau keluarga Suharto atau teman-teman dari teman-teman Suharto. Menciptakan negara yang penuh dengan cantillionaires dan kleptocrats.
Suharto dan orang-orang terdekatnya yang memegang industri penting di Indonesia secara tidak langsung menikmati uang pinjaman dari luar negeri yang dituangkan ke dalam industri mereka. Tingkat korupsi merajalela. Berdasarkan Global Report on Corruption 2004 oleh Transparency International memperkirakan penggelapan dana oleh Suharto dan anteknya mencapai $15 hingga 35 miliar rupiah.
Krisis Asia
Awal Krisis Asia sebenarnya terjadi jauh dari Asia. “Reverse Plaza Accord” tahun 1996 adalah kesepakatan yang dibuat oleh AS, Jepang dan Jerman untuk menyelamatkan ekonomi manufaktur Jepang yang semakin melambat hingga terhenti karena naiknya nilai mata yen. Mereka merekayasa pembalikan untuk menciptakan penurunan tajam nilai tukar dolar. Sehingga ini mendorong dolar naik terhadap mata uang asing lainnya. Likuiditas kemudian masuk ke pasar saham AS dan sisanya ke pasar aset di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara yang mata uangnya diikat dengan dolar, termasuk Indonesia.
Sebelum Krisis Asia, banyak perusahaan di Indonesia memanfaatkan kesempatan untuk meminjam dolar murah, sementara kewajiban mereka dalam rupiah. Hingga tahun 1996, sebagian besar investasi juga masuk ke real estate. Ini adalah pesta bagi para investor Indonesia, ekonomi berkembang pesat, semua orang menjadi kaya.
Karena Pembalikan, pemerintah Asia Timur dan lembaga keuangan terkait merasa semakin sulit untuk meminjam dolar AS untuk mensubsidi industri dalam negeri mereka serta mempertahankan pasak mata uang mereka. Tekanan ini memuncak pada tahun 1997 ketika satu per satu dari mereka mendevaluasi mata uang mereka. Pasokan baht Thailand melebihi permintaan pasar. Investor menukar baht mereka dengan dolar. Pemerintah Thailand mencoba membelanjakan lebih dari $20 milyar untuk mempertahankan nilai baht yang dipatok dengan dolar tetapi gagal pada akhirnya. Dalam lima minggu, baht Thailand kehilangan lebih dari 20 persen nilainya terhadap dolar. Dan yang terjadi selanjutnya adalah contagion effect yang menyebar hingga Indonesia.
Sebagai tanggapan atas apa yang terjadi di pasar dolar Asia. Pemerintah Indonesia mencabut kurs tetap (fixed rate) menjadi kurs mengambang bebas (floating rate) yang menimbulkan kepanikan bagi masyarakat Indonesia. Sistem fixed-rate adalah suatu sistem dimana Bank Indonesia berkewajiban menjaga agar Rupiah tetap konstan dengan aktif melakukan jual beli valuta asing untuk menghadapi perubahan penawaran dan permintaan. Dengan nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar rupiah menjadi tergantung pada penawaran dan permintaan di pasar.
Orang-orang panik dan membeli dolar sebanyak mungkin untuk melindungi harta mereka, mereka takut nilai rupiah akan anjlok. Nilai rupiah turun dalam waktu 3 minggu harga $1 sama dengan Rp. 2.600 terjun menjadi $1 sama dengan Rp. 13.600 dan pada bulan Mei hampir mendekati Rp. 16.000. Antara 2 Juli 1997 dan 8 Januari 1998, Rupiah terdepresiasi terhadap dolar sebesar 229 persen.
Pemerintah Indonesia berusaha menyelamatkan perekonomiannya dengan menaikkan suku bunga bank tetapi hal ini hanya melemahkan sistem perbankan yang rapuh terutama setelah banyak bank baru bergabung dengan Pakto 88. Melalui Rapat Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan serta Produksi dan Distribusi, pemerintah akan membantu bank-bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas, sedangkan bank-bank “sakit” akan dimerger atau dilikuidasi. Kredit ini disebut sebagai Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Bantuan ini dikeluarkan atas kerja sama antara Bank Indonesia dan IMF.
Dana yang disalurkan Bank Indonesia kepada bank umum pada masa krisis moneter 1998 berjumlah sekitar Rp 144 triliun. Jumlah bank penerima BLBI sekitar 48 bank. Pemerintah Indonesia memberikan waktu satu bulan untuk melunasi pinjaman BLBI kepada bank-bank tersebut, kemudian mengubah tenggat waktu menjadi 5 tahun. Pemerintah lalu membekukan 38 bank tidak sehat. Bayangkan bagi nasabah Indonesia yang memiliki uang di bank itu, dalam semalam bank tersebut tidak beroperasi lagi.
Keikutsertaan IMF dalam krisis Asia juga memperburuk kondisi Indonesia. IMF memberikan pinjaman kepada Suharto dan sebagai imbalannya, Indonesia harus melakukan kebijakan moneter yang lebih ketat seperti menaikkan suku bunga bank yang menyebabkan kontraksi berlebihan dalam perekonomian Indonesia. Pada tanggal 5 Mei 1998, dalam kerangka kesepakatan yang ditandatangani dengan IMF, Suharto menghapuskan subsidi bahan pokok sehingga harga minyak tanah, listrik, dan bensin naik 70%, tentu saja menimbulkan kepanikan dan histeria massa.
Krisis di Indonesia merajalela, mengakibatkan kerusuhan dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa. Banyak orang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, mereka mencoba mencari seseorang untuk disalahkan, Indonesia-Tionghoa menjadi sasaran utama kekesalan mereka. Rakyat menduduki gedung parlemen di Jakarta. Pada 28 Mei 1998, Presiden Suharto mengundurkan diri dari jabatannya setelah memerintah Indonesia selama 32 tahun.
Skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
Setelah reformasi, Dana BLBI harus segera dibayarkan oleh bank peminjam. Melalui audit dari BPK, ditemukan adanya kejanggalan pada dana BLBI yang dikeluarkan BI. Temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan telah terjadi penyimpangan dana hingga Rp. 54,5 triliun oleh 28 bank penerima dana BLBI. Kemudian terjadi ketidaksepakatan tentang berapa banyak pemerintah harus bailout.
Berdasarkan hasil audit KPMG pada Januari 2020, ditemukan dana BLBI sebesar Rp 80,25 triliun disalahgunakan. Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin ditahan Kejaksaan Agung dengan status tersangka. Pada November 2020, beberapa pejabat BI mengundurkan diri dari jabatannya. Pada tahun 2001, beberapa pejabat tinggi bank yang menerima dana BLBI ditangkap karena dicurigai melakukan korupsi. Banyak petinggi bank meninggalkan negara itu. Hingga tahun 2021, dana BLBI belum sepenuhnya dikembalikan dan masih menjadi persoalan.
Bail-Out dan Bail-In
Pada tahun 2008, terjadi krisis subprime mortgage di Amerika Serikat yang berdampak pada perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Aliran dana investor asing ke Indonesia mandek, sehingga nilai tukar rupiah terhadap dolar turun. Inflasi Indonesia meningkat menjadi 12% pada September 2008. Pada Oktober 2008, pemerintah menyuntikkan Rp15 triliun ke 3 bank milik negara.
Salah satu bank swasta yang bermasalah adalah Bank Century dan pemerintah telah memberikan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun. Pemerintah Indonesia sempat khawatir akan terjadi bank run sehingga menyepakati dana talangan ini. Saat Bank Century bangkrut, ribuan nasabah juga menjadi korban. Misalnya, Cahyadi Candra Mulia memiliki Rp 5 miliar di bank abad yang tidak bisa dia akses. Selain itu, Bank Century juga memiliki beberapa praktik investasi curang. Sehingga bail-out Bank Century juga menimbulkan banyak pertanyaan.
Indonesia juga telah mengadopsi mekanisme bail-in seperti yang terjadi pada kasus Asuransi Jiwasraya. Berbeda dengan bailout, dimana bank atau swasta dapat meminta pemerintah untuk menalangi utang dengan menggunakan pajak tidak langsung atau mencetak uang. Secara sederhana bail-in adalah cara bank menggunakan uang dari nasabah untuk mengatasi kerugian yang dialaminya. Jaminan itu disahkan dalam UU PPKSK 2016.
Renungan
Kita baru saja menelusuri sejarah panjang Indonesia dari zaman kerajaan hingga pasca reformasi. Dapat kita simpulkan bahwa selama lima abad bangsa Indonesia telah mengalami berbagai macam penderitaan dan kesulitan, akibat penggunaan kebijakan keuangan yang tidak tepat dan politik penggunaan uang.
Dari sejarah, kita dapat melihat bahwa uang adalah alat politik. Sistem moneter yang tidak stabil akan menyebabkan ketidakstabilan politik. Uang fiat atau uang yang dikeluarkan oleh pemerintah, tanpa dukungan yang stabil seperti emas atau perak dapat dengan mudah didevaluasi. Mari kita lihat misalnya ORI 1946 kehilangan nilainya 53% dalam 3 tahun.
Uang fiat juga sangat mudah disalahgunakan. Godaan untuk mencetak uang lebih mudah daripada menghasilkan sesuatu yang produktif atau menaikkan suku bunga. Mencetak uang kertas menyebabkan inflasi, dan inflasi merugikan masyarakat.
Inflasi adalah pajak tersembunyi yang harus dibayar orang di kemudian hari. Inflasi yang berlebihan seperti yang terjadi pada tahun 1966 dan 1998 juga menimbulkan kekacauan di negara tersebut. Kelaparan dan kerusuhan merajalela. Semua ini terjadi secara perlahan dan tiba-tiba. Dan benang merah hiperinflasi di seluruh dunia adalah pencetakan uang berlebih.
Pencetakan uang dapat mengarah pada praktik cantillionaires, kleptokrasi, rent-seeking, korupsi, dan nepotisme. Orang-orang yang dekat dengan pemerintah menikmati suntikan uang baru baik melalui pasar saham atau investasi. Ini adalah ladang terbaik untuk praktik korupsi. Yang kita lihat ini terjadi di era Suharto.
Pinjaman luar negeri juga menimbulkan masalah yang berbeda. Pinjaman dari IMF dan Bank Dunia yang mendukung pemerintahan Suharto memiliki dua mata pisau. Di satu sisi, pinjaman IMF memungkinkan pemerintah pasca-kekacauan untuk membangun dan menata kembali negara, tetapi di sisi lain, banyak persyaratan pinjaman mengakibatkan kebijakan yang salah arah dan memicu inflasi yang lebih tajam, devaluasi mata uang, dan pengangguran yang tinggi.
Mengapa orang Indonesia membutuhkan Bitcoin?
Dari sejarah, kita melihat bahwa dari era kerajaan hingga era covid, uang dapat dengan mudah direndahkan melalui perubahan materi, pemalsuan atau kebijakan yang buruk. Rakyat Indonesia butuh uang yang bisa dipercaya, tidak bisa dikorupsi.
Bitcoin adalah uang pertama yang tidak dapat dirusak, digelembungkan, dan dipalsukan. Bitcoin adalah uang digital yang dibuat berdasarkan kriptografi dan mekanisme hashing yang disebut Proof-of-work yang mencegah pengeluaran ganda, dengan persediaan tetap dan jadwal penerbitan yang transparan. Dengan adanya ini, orang tidak perlu khawatir uang mereka tiba-tiba kehilangan nilainya karena tiba-tiba ada lebih banyak. Karena juga dijalankan oleh node terdesentralisasi yang dapat dijalankan oleh siapa saja, masyarakat juga tidak perlu khawatir tiba-tiba tidak dapat mengakses dananya, atau bank menjadi bangkrut.
Bitcoin dapat diakses oleh semua orang, hanya dengan memiliki koneksi internet orang dapat memiliki uang ini, tidak perlu bank, tidak perlu pihak ketiga, tidak perlu izin. Setiap orang dapat memiliki Bitcoin sesedikit yang mereka mampu, orang dapat menukar uang mereka dengan Bitcoin yang dapat dibagi hingga 0,00000001 atau yang kita sebut sats. Pada saat penulisan ini (Januari 2022) 1 sat sekarang sama dengan Rp 6, dan permen sekarang berharga Rp 100.
Perbedaan utama antara Bitcoin dan uang kertas adalah bahwa nilai Bitcoin naik karena memiliki persediaan terbatas sebesar 21 juta. Pemerintah Indonesia telah mencetak lebih dari 2 Kuadriliun Rupiah sejak kemerdekaannya dan diharapkan akan mencetak lebih banyak lagi di masa mendatang. Rata-rata, Bank Indonesia mencetak Rupiah lebih banyak 12% dari tahun ke tahun. Dan sebaliknya, pasokan Bitcoin semakin berkurang setiap 4 tahun.
Bitcoin menciptakan pemisahan antara uang dan negara. Sesuatu yang belum terjadi di dunia ini. Dengan memiliki uang yang tidak dapat dikuasai oleh negara, maka ia bebas dari campur tangan negara, diktator, kleptokrat.
Bitcoin bersifat pribadi, transaksi dilakukan dengan nama samaran dan tidak dapat dibatalkan. Bitcoin juga aman dari penyitaan — selama orang tersebut memiliki kunci pribadi, tidak ada yang bisa mengambilnya dari mereka. Bayangkan saja, jika krisis lain terjadi, orang dapat dengan mudah beralih ke mata uang yang lebih andal, orang dapat melarikan diri dari negara dengan aman tanpa ancaman uang mereka dapat disita atau terjebak di bank yang bangkrut.
Status Adopsi Bitcoin di Indonesia
Pada Juli 2021, 7,4 orang di Indonesia telah terdaftar sebagai pengguna kripto. Tapi itu hanya merupakan 2,5 persen dari total penduduknya. Pada tahun 2019, Bank Indonesia melarang pembayaran menggunakan cryptocurrency termasuk Bitcoin. Cryptocurrency seperti Bitcoin dikategorikan sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan di bursa.
Ada banyak peluang untuk adopsi Bitcoin di Indonesia, tetapi pendidikan diperlukan untuk memastikan orang tidak jatuh ke dalam perangkap penipuan atau tersesat di belantara ICO, altcoin, dan kebisingan di sekitar cryptocurrency. Tetapi yang terpenting, orang-orang di Indonesia perlu memahami nilai yang diberikan Bitcoin — uang abadi yang memiliki nilai jangka panjang.
Ya, masih jauh bagi masyarakat Indonesia untuk memahami Bitcoin, dan bahkan butuh beberapa saat untuk membuat Indonesia menerima Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah. Tetapi jika kita dapat belajar dari apa pun yang terjadi di Turki, Argentina, Venezuela, Nigeria — Bitcoin memberikan kesempatan kedua bagi negara-negara ini. Bitcoin menyediakan rencana pelarian dari kekacauan fiat.
We are going to make it.
Sumber:
- Luiten van Zanden dan Daan Marks. 2012. Ekonomi Indonesia 1800–2010 : Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan
- Sejarah Bank Indonesia. Bank Indonesia. Diakses Januari 2022
- Sakti, Zein. Masalah Ekonomi Masa Demokrasi Liberal dan Terpimpin Serta Upaya Mengatasinya. Awal Ilmu. Diakses Januari 2022
- Prakash, Aseem. 2001. The East Asian crisis and the globalization discourse. George Washington University
- Margana, Sri. 2018. Keindonesiaan Dalam Uang.